FORMAT PENDIDIKAN KARAKTER
MELEPASKAN JEBAKAN FORMALISME
PENDIDIKAN, MENUJU KE ARAH
PENDIDIKAN YANG LEBIH SUBSTANTIF[1]
Oleh : Dede Rahmat Hidayat[2]
Pendahuluan
Menulis pembahasan ini merupakan
sesuatu yang “mengganggu, tetapi telah memberikan rangsangan kepada minat
intelektual saya untuk melihat ulang, mengkritisi praktek pendidikan yang
berlangsung untuk kemudian berupaya memberikan suatu alternative yang mungkin
ditempuh.
Tidaklah mudah bagi saya untuk
memahami secara persis ide yang muncul dari seorang professor yang sangat saya hormati,
tidak hanya karena konsistensi beliau dalam jalur pengabdiannya terhadap
pengetahuan tetapi karena berbagai pemikiran yang dikemukakan memberikan dorongan
yang “memaksa” saya untuk terus berpikir dan merenung.
Pembangunan karakter adalah tema yang menarik untuk dibahas, beberapa
waktu sebelum kegiatan alih kepakaran dilakukan, saya terlibat dalam perenungan
dan diskusi mengenai masalah moral yang mengungkungi masyarakat. Terdapat
banyak keluhan, kekhawatiran dan juga cacian atas perilaku yang dianggap tidak
menunjukkan karakter sejati bangsa Indonesia yang sangat normative, Pameran
keburukan ini dilakukan oleh berbagai pihak, baik dari kalangan elit politis,
selebritis hiburan maupun rakyat biasa.
Artikel yang ditulis oleh Prof Conny
Semiawan yang berjudul” Character Building for Children : Toward A National
Identity of Quality and Dignity” adalah sebuah tulisan yang patut untuk
disimak. Dalam tulisan ini membuat beberapa point, yaitu :
a. Konsep karakter dan pendidikan
karakter
b. Peran lingkungan dan aspek genetis
c. bangsa bermartabat dan peran orang
tua
Dalam tulisan ini saya akan membahas dan
memberikan tanggapan atas beberapa point di atas terutama yang berkaitan dengan
konsep karakter dan pendidikan karakter tetapi dengan tinjauan yang lebih mikro
dan pembahasan yang lebih operasional. Sementara bagian lain, dalam pandangan
saya mungkin lebih menarik untuk dibahas bersama karena memiliki konstelasi
yang lebih luas.
Jebakan
formalisme pendidikan yang bersumber dari pragmatisme
Kegiatan bersekolah seringkali
disamaartikan dengan pendidikan, kegiatan rutin pergi pagi pulang siang, murid duduk
di bangku sambil mendengarkan guru menyampaikan pelajaran, pada akhir tahun
mendapatkan laporan hasil pendidikan dan pada akhir pendidikan mendapatkan
ijazah. Kegiatan ini diikuti oleh jutaan orang Indonesia melibatkan semua
struktur dalam masyarakat, oleh rakyat dan juga pemerintah. Apabila bersekolah
sama dengan pendidikan apakah kegiatan persekolahan yang dilakukan telah
mencapai hasil yang diharapkan dalam pendidikan, yaitu mencapai manusia
seutuhnya atau telah mencerdaskan kehidupan bangsa seperti yang tercantum dalam
pembukaan UUD 45. Karena tujuan pendidikan secara substansial merujuk kepada
upaya untuk membuat suatu perubahan yang lebih baik dan salah satu komponen
penting perubahan tersebut adalah pembangunan karakter.
Kegiatan Pendidikan (mungkin istilah
yang lebih tepat adalah persekolahan) menjadi sebuah kewajiban yang diarahkan
menjadi cara untuk mendapatkan pekerjaan yang “bergengsi” pendidikan bukan
merupakan cara untuk memartabatkan dan memuliakan manusia, indikator
keberhasilan pendidikan adalah pekerjaan yang bagus, jabatan yang tinggi dan
kekayaan material. Bukan diarahkan agar anak didik memiliki kehormatan , cita-cita,
respek terhadap kehidupan; terhadap sesama manusia dan terhadap lingkungan. Tilaar
(1999a) mensinyalir bahwa Indonesia tidak saja mengalami krisis secara ekonomi,
tetapi juga mengalami krisis pendidikan. Dia menyoroti bagaimana pendidikan dijalankan pada jaman
orde baru, bahwa pendidikan telah dipisahkan dari budaya.
Praksis pendidikan yang berjalan
digambarkan oleh Postman (1995) sebagai sebuah kegiatan yang konservatif dan subversive,
karena sekolah sebagai tempat pendidikan telah menjadi tembok pembatas dari
upaya untuk memberikan ruang yang lapang
untuk pergerakan pemikiran, dan bahkan mungkin telah menghianati upaya
untuk melanggengkan demokratisasi. Pendidikan lebih banyak mengajarkan
ketidakberdayaan, bukan kemandirian.
Pendidikan yang salah arah telah
menimbulkan berbagai implikasi yang negative, dari manusia yang terdidik tinggi
ide-ide mengenai kehancuran diciptakan. Pembuatan Senjata pemusnah massal,
pengurasakan alam secara massif. Pendidikan telah menjadikan manusia kehilangan
kemampuan untuk mengembangkan minat terhadap kehidupan (Erich Fromm menyebutnya
dengan biofilus) karena yang muncul adalah nafsu necrofilik yang menghancurkan.
Pendidikan yang dijalankan telah melahirkan manusia-manusia dengan mental korup
dan merusak. Kita ketahui bahwa para pelaku korupsi adalah mereka yang terdidik
tinggi. Bukankah suatu hal yang paradoks apabila pendidikan berbanding terbalik
dengan kebaikan.
Pendidikan bergeser menjadi sangat
kapitalistik akan melahirkan berbagai bentuk manipulasi, karena yang diharapkan
adalah gelar bukan perubahan atau proses menuju aktualisasi (Conny Semiawan
(2010a). Pendidikan menjadi sangat intelektualistik, aspek-aspek kepribadian
yang meliputi aspek konatif, afektif dan kognitif telah diabaikan, Pendidikan
telah dimanipulasi untuk tujuan-tujuan intelektualisme yang sempit dan
mematikan inisiatif dan kemandirian berpikir manusia (TIlaar, 1999). Demi
mengejar gelar banyak orang yang memalsukan ijazah dan berbangga diri dengan
gelar akademik (lihat Darmaningtyas, 2005). Inilah jebakan pendidikan yang
harus dihindari
Pendidikan yang dijalankan pada
dasarnya memiliki dua dimesi, yaitu teknis dan metafisis (lihat Tilaar 1999 dan
Postman, 1995). Praktek pendidikan di Indonesia sangat disibukan dengan dimensi
yang bersifat teknis, sibuk dengan kurikulum, fasiltas, proses birokrasi,
belajar menjadi sangat mekanistis. tetapi mengabaikan fungsi pendidikan
sendiri. Dalam UU Siskdiknas No 20 tahun 2003 dinyatakan bahwa “Pendidikan
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa bertujuan untuk
berkembangnya peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak, sehat, berilmu, cakap kreatif, mandiri
dan menjadi warga yang demokratis serta bertanggung jawab”. Secara normative
itulah fungsi pendidikan yang diharapkan.
Realitas yang tidak sesuai harapan ini
menunjukan adanya gejala bahwa pendidikan jalan di tempat. Setelah 65 tahun
merdeka pendidikan semakin memperburuk mentalitas manusia Indonesia. Secara
romantis Mangunwijaya (2003) menceritakan bahwa pendidikan di jaman penjajahan
Belanda telah melahirkan banyak pejuang tangguh, melahirkan manusia-manusia
yang mandiri dan memiliki cita-cita. Sementara ketika pendidikan dijalankan
oleh bangsa sendiri memberikan hasil yang sebaliknya, hanya sedikit yang
memiliki mentalitas maju. Bercermin pada kondisi ini kita mungkin dapat
memahami mengapa pembangunan Indonesia sepertinya berjalan lamban. Merujuk
kepada penjelasan Koentjaraningrat (1983) mengenai hambatan yang muncul dalam
pelaksanaan pembangunan adalah terletak pada mentalitas, dikatakan bahwa sikap mental orang Indonesia umumnya
belum siap untuk pembangunan. Kondisi ini yang dianggap masih bercokol pada
kebanyakan masyarakat Indonesia seperti yang diresahkan juga oleh Semiawan
(2010b) bahwa perubahan mentalitas belum terwujud, karena korupsi dan
penyalahgunaan wewenang tetap berjalan, bahkan telah kehilangan jatidiri
sebagai bangsa. Penggambaran Mochtar Lubis tahun 1977 mengenai manusia
Indonesia tampaknya masih tetap relevan, meskipun banyak orang mengingkarinya.
Mochtar Lubis menggambar manusia Indonesia secara umum memiliki sifat negative
yaitu hipokrisi atau munafik. segan dan
enggan bertanggung jawab atas perbuatannya. berjiwa feodal. percaya takhayul.
tidak hemat dan boros. Dia tidak suka bekerja keras, kecuali terpaksa. Meskipun
beliau berusaha untuk tetap objektif dalam menilai setidaknya dengan
menunjukkan sifat-sifat yang baik berupa ikatan saling tolong, berhati lembut,
suka damai, punya rasa humor, serta dapat tertawa dalam penderitaan. Manusia
Indonesia juga cepat belajar dan punya otak encer serta mudah dilatih
keterampilan. Selain itu, punya ikatan kekeluargaan yang mesra serta penyabar.
penggambaran di atas tidak bermaksud menampilkan keburukan bangsa sendiri,
tetapi bagi kalangan pendidik dan akademisi merupakan sesuatu yang menggugah
dan pantas untuk diperbaiki karena menjadi PR bagi kita (Semiawan, 2010b).
Menuju
pendidikan yang membangun karakter
Langkah yang mungkin dapat diperbaiki
adalah bagaimana membangun karakter. Semiawan (2010b) setidaknya memberikan dua
kontributor penting yaitu pengasuhan di rumah dan pendidikan di sekolah. Dalam
pembahasan ini akan lebih difokuskan kepada pendidikan karakter di sekolah.
Pendidikan meskipun bukan panacea
bagi masalah-masalah kebangsaan, tetapi merupakan kontributor penting bagi
kemajuan dan upaya menuju ke arah perbaikan. Pendidikan yang baik akan
mendorong kepada perubahan progresif menyebabkan setiap orang mencapai
aktualisasi (dalam bahasa Maslow) atau individuasi dalam Bahasa Jung atau creative minority versi Arnold Toynbee
(lihat Schultz, 1991). Pendidikan harus diarahkan kepada upaya untuk membangun
karakter, yaitu terjadi proses tranformasi diri menuju ke arah yang lebih
tinggi
Pendidikan
dapat membantu manusia menjadi bagian dari masyarakat yang sehat, Dalam istilah Erich Fromm masyarakat yang
sehat adalah masyarakat produktif,
karena memiliki karakter yang kreatif dan selalu berusaha untuk
menggunakan apapun untuk kemajuan, mereka termasuk Tipe biofilus (orang yang
mencintai kehidupan). Fromm juga mengemukakan tentang masyarakat yang
seharusnya yaitu masyarakat manusia yang berhubungan satu sama lain dengan
penuh cinta, dan berakar dalam ikatan-ikatan persaudaraan dan solidaritas,
suatu masyarakat yang memberi kemungkinan untuk mengatasi kodratnya dengan
mencipta bukan dengan membinasakan, dimana setiap orang mencapai pengertian
tentang diri dengan mengalami dirinya sebagai subjek dari
kemampuan-kemampuannya bukan dengan konformitas. Terdapat suatu sistem
orientasi dan devosi tanpa orang perlu mengubah kenyataan. Dalam masyarakat
semacam itu, setiap orang akan memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi
manusiawi sepenuhnya.
Konsep
karakter
Istilah karakter dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia sama dengan “watak” yang diartikan sebagai sifat batin manusia
yang mempengaruhi segenap pikiran dan tingkah laku, budi pekerti dan tabiat
(Soedarsono, 2008). Sama halnya dengan kamus Inggris-Indonesia (Echols dan
Shadily, 1976) yang menyamakan Character dengan watak, karakter, sifat
(kata benda).
Semiawan (2010b) mendefinisikan
karakter dengan “keutuhan seluruh perilaku psikis hasil pengaruh factor endogin
(genetic) dan factor eksogin, yang membedakan individu atau kelompok individu
yang satu dari yang lainnya”. Novak (dalam Lickona, 1991) menyebutkan bahwa
karakter merupakan percampuran dari semua kebaikan yang dipengaruhi oleh
tradisi keagamaan, kebudayaan, nasehat-nasehat dan perilaku tokoh yang terdapat
dalam pelajaran-pelajaran sejarah.
Lickona (1991) menjelaskan bahwa karakter terdiri dari Operative Values, yaitu
nilai-nilai dalam perilaku. Seorang individu pada hakikatnya akan mengalami
proses pengaplikasian nilai-nilai yang ada untuk direalisasikan dalam bentuk perilaku
yang baik, menggunakan watak pribadi untuk merespon situasi-situasi dengan
moral yang baik. Dengan demikian menurut Lickona karakter seseorang dapat
dikatakan baik, apabila orang tersebut telah melalui beberapa proses, yaitu
mengetahui hal yang baik, menginginkan hal baik, selanjutnya melakukan hal yang
baik, meskipun mendapat tekanan dari luar maupun godaan dari dalam. Lebih dari itu,
kebiasaan seseorang dalam berpikir, menggunakan hati serta kebiasaan bertindak
sangat dibutuhkan dalam mamandu kehidupan moralnya. Seseorang dikatakan
memiliki karakter kuat apabila bisa menilai apa yang right, peduli pada
apa yang dianggap right dan melakukan apa yang sudah dianggap right tersebut.
Komponen-Komponen
Pembentuk Karakter
Tulisan ini akan coba menjelaskan ide
Lickona (1991) mengenai karakter, karena menurut penulis dianggap memiliki
pembahasan yang luas. Lickona (1991) menjelaskan komponen karakter ke dalam
tiga bagian, yaitu moral knowing, moral feeling dan moral action.
1.
Pengetahuan Moral (Moral-Knowing)
Pengetahuan moral (moral-knowing)
merupakan aspek pembentuk karakter seseorang. Pengetahuan moral terdiri atas kesadaran
moral (moral awareness), mengetahui nilai-nilai moral (knowing moral
values), Nilai-nilai moral yang dimaksud adalah respect terhadap
kehidupan sekitarnya, bertanggung jawab, jujur, adil, toleran, disiplin diri
dan memiliki integritas. Selain itu pengetahuan moral juga terkait dengan memahami
perspektif orang lain, memiliki pertimbangan moral (moral-reasoning),
disini termasuk dalam pemahaman tentang prinsip-prinsip dasar dari moral
seperti “respect terhadap nilai-nilai yang dimiliki setiap orang”. Selain
itu juga termasuk di dalamnya pengambilan keputusan (decision-making)
dan pemahaman diri (self-knowledge).
2. Perasaan
moral
Hati nurani, harga diri, empati,
mencintai hal-hal baik, kontrol diri dan kerendahan hati merupakan aspek
emosional dari moral seseorang. Semua aspek tersebut dapat memotivasi seseorang
untuk bermoral baik, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain. Menyukai
hal-hal yang baik (loving the good) salah satu tingkatan tertinggi pada
karakter adalah ketertarikan pada hal-hal yang baik. Ketika seseorang mencintai
hal-hal yang baik, tentu ia akan dengan senang hati melakukan hal-hal tersebut.
Ia memiliki keinginan untuk bermoral baik, dan tidak menjadikan moral sebagai
beban, dan komponen lainnya adalah kerendahan hati (humility)
Setiap orang yang mementingkan sikap
kejujuran, adil dan sopan terhadap orang lain, akan sangat dipengaruhi oleh
pengetahuan moral (moral-knowledge), moralnya yang akan mengarahkan pada
perilaku yang bermoral. Moral-feeeling dapat dikategorikan ke dalam
aspek emosi dari karakter dan dapat berkembang karena dipengaruhi lingkungan
sekolah dan keluarga. Perasaan moral juga terdiri dari hati nurani (conscience)
yaitu bagian kognitif (mengetahui apa yang right) dan emosional (merasa
memiliki kewajiban untuk melakukan right) dan perasaan bersalah (guilty).
Ketika hati nurani menginginkan untuk melakukan sesuatu, maka orang akan
merasa bersalah jika tidak melakukannya. Bagi seseorang yang mengikuti kata
hatinya, moral adalah segalanya. Ia berkomitmen untuk selalu menampilkan
nilai-nilai moralnya karena nilai-nilai tersebut sangat mengakar kuat dalam
dirinya. Seseorang yang mengikuti apa kata hatinya akan merasa “out of
character” jika ia melakukan hal-hal yang negatif seperti berbohong dan
mencontek.
3.
Tindakan Moral (Moral Action)
Tindakan moral terdiri atas Kompetensi,
keinginan (will) dan kebiasaan (habit). Kompetensi adalah keterampilan
seseorang dalam melakukan sesuatu, yang ditunjukkan dengan secara konsisten serta
memberikan kontribusi kinerja yang tinggi dalam suatu tugas. Keinginan
merupakan motor penggerak/energi tersendiri bagi seseorang untuk melakukan apa
yang seharusnya mereka lakukan. will merupakan inti dari moral action
habit memberikan banyak pengaruh terhadap moral seseorang. Seseorang yang
memiliki karakter kuat, seperti jujur, loyal, berani, ramah dan dapat berlaku
adil meski dalam tekanan. Ia melakukan nilai-nilai tersebut berdasarkan habit
yang sudah melekat dalam dirinya. Seseorang sering tidak berpikir secara sadar
tentang right choice, ia melakukan right thing berdasarkan habit—nya.
Idealnya
pengetahuan mengenai nilai-nilai moral akan berarti memahami cara
mengaplikasikanna dalam bentuk sikap dan perilaku. Pada orang yang memiliki
karakter kuat, moral knowing, moral feeling dan moral acting akan
bekerja secara koheren dan saling mendukung satu sama lainnya.

Komponen
karakter yang baik
Sumber :
Lickona T (1991) : Educationg for character : How our School Can Teach Respect
and Responsibility
Dalam banyak kasus sering didapati
bahwa pengetahuan right bukan jaminan bagi seseorang untuk melakukan hal
yang right juga. Banyak orang yang sudah mengetahui apa yang seharusnya dilakukan
namun tidak bisa mewujudkannya dalam kenyataan, atau seringkali seseorang
mengetahui dengan persis mana perbuatan yang benar dan mana yang salah, tetapi
tetap melakukan hal yang salah. Penyebab kondisi ini adalah ketiadaan integrasi
dari ketiga komponen moral yang ada. Berpijak pada penjelasan Bronfenbrenner
(1995) mengenai 4 kunci dimensi dalam perkembangan atau yang disebut dengan ecological approach yang berinteraksi
secara reciprocal yaitu proses, orang, konteks dan waktu. Perkembangan individu
berada dalam 4 dimensi tersebut, tetapi di luar dari ke empat dimensi tersebut
terdapat suprastruktur yang sangat menentukan yaitu policy pemerintah (Foster & Kalil, 2005). Pendidikan karakter
tidak hanya diterapkan dalam persekolahan melainkan juga harus didukung dengan
policy yang “memaksa” semua pihak untuk terlibat. Bentuk policy yang dimaksud adalah regulasi yang dibuat memaksa semua
pihak baik, baik grass root level
maupun top level society untuk
konsisten mengintegrasikan 3 komponen moral. Tanpa dukungan tersebut amatlah
tidak mudah perubahan yang progressif dapat diwujudkan.
Peran
guru dan sekolah dalam pendidikan karakter
Dalam pendidikan terdapat dua tujuan
besar yang diharapkan, yaitu membuat anak-anak menjadi cerdas (smart)
dan kedua membuat anak-anak menjadi baik (good). Baik berarti memiliki
penghargaan obyektif (objective worth), sebuah nilai yang memperkuat
martabat manusia dan meningkatkan kebaikan bagi individu dan masyarakat. Terdapat
dua bentuk nilai moral yang universal di masyarakat yang dapat diajarkan yaitu
respek dan tanggung jawab. Respek berarti memperlihatkan rasa hormat baik
kepada manusia maupun benda. Respek adalah sisi pengendalian dari moralitas
yang menjaga kita untuk tidak menyakiti sesuatu yang harus kita hargai. Respek
kepada diri sendiri, kepada hak-hak dan martabat seluruh manusia dan respek
kepada lingkungan yang melestarikan kehidupan. Sementara tanggung jawab adalah
sisi aktif dari moralitas, di dalamnya termasuk peduli kepada diri sendiri dan
orang lain, memenuhi kewajiban dan berkontribusi kepada masyarakat, mengurangi
penderitaan dan membangun dunia yang lebih baik.
Seperti yang disampaikan Semiawan
(2010 b), Menurut Lickona (1991) sekolah dapat mengajarkan pengembangan
karakter, apabila dapat menyediakan suatu lingkungan moral (moral
environment) yang menekankan nilai-nilai yang baik dan menjaganya dalam
kesadaran setiap orang. Untuk mengubah nilai menjadi sebuah kebaikan dan
mengembangkan dari kesadaran intelektual menjadi kebiasaan personal dalam pikiran,
perasaan dan tindakan.
Pengetahuan, perasaan dan tindakan
moral dalam berbagai bentuk manifestasinya adalah kualitas karakter yang
membuat nilai moral dapat terealisasi. Untuk itu dalam pembelajaran di sekolah komponen
yang dikembangkan adalah respek dan tanggung jawab. Dengan mendidik respek dan tanggung jawab
berarti membuat nilai-nilai yang ada dioperasionalkan dalam kehidupan sehari-hari,
inilah makna dari mendidik karakter.
Dalam praktek pendidikan karakter di
sekolah guru memiliki peran yang sangat penting. Menurut Lickona (1991) terdapat
beberapa peran yang harus dilakukan oleh guru dalam pendidikan karakter, yaitu
1. Bertindak
sebagai pemberi perhatian, model dan juga mentor, melayani siswa dengan penuh
cinta dan respek, menjadi contoh yang baik, mendukung perilaku prososial, dan
memperbaiki perilaku yang menyakiti atau merusak.
2. Menciptakan
komunitas pendukung moral dalam kelas, menolong siswa untuk saling mengenal satu
sama lain, respek dan peduli kepada yang lain dan merasa dihargai sebagai
anggota kelompok
3. Menerapkan
disiplin moral dengan cara membuat dan menguatkan aturan sebagai kesempatan
untuk mendukung pertimbangan alasan moral, mengendalikan diri dan memberikan
respek kepada setiap orang.
4. Membangun
lingkungan kelas yang demokratis, dengan cara melibatkan siswa dalam
pengambilan keputusan, berbagi tanggung jawab dalam membuat kelas menjadi
nyaman untuk dihuni dan sebagai tempat belajar
5. Mengajarkan
nilai-nilai melalu kurikulum, menggunakan subjek akademik sebagai kendaraan
untuk menilai isu etik ( hal ini dilakukan secara simultan dengan strategi
sekolah dimana kurikulum diarahkan kepada lintas kelas, seperti pendidikan
allkohol, pendidikan tentang narkotik dan pendidikan seks).
6. Menggunakan
cara belajar kooperatif untuk mengajarkan watak (disposition), keterampilan menolong orang lain dan bekerja
sama
7. Mengembangkan
ketajaman nurani (conscience of craft) dengan mendorong siswa untuk memiliki
tanggung jawab akademik dan peduli terhadap nilai dari belajar dan bekerja
8. Mendukung
refleksi moral melalui membaca, menulis, berdiskusi, latihan mengambil
keputusan dan berdebat.
9. Mengajarkan
resolusi konflik sehingga siswa memiliki kapasitas dan komitmen untuk
menyelesaikan konflik secara adil dan tanpa kekerasan.
Selain
guru yang harus memiliki peranan, sekolah sebagai suprastruktur juga memiliki
peranan penting yang harus dilakukan sekolah. Peran-peran tersebut adalah :
1. Membantu
mengembangkan kepedulian di luar kelas, menggunakan model peran yang
menginspirasi dan memberikan kesempatan kepada sekolah dan komunitas pelayanan
untuk menolong siswa belajar memberikan perhatian
2. Menciptakan
budaya moral yang positif dalam sekolah dengan mengembangkan semua komponen persekolahan
(melalui kepemimpinan kepala sekolah, disiplin sekolah, rasa kemasyarakatan
sekolah,pengelolaan siswa yang demokratik, komunitas moral pada orang dewasa
dan waktu untuk memperhatikan moral) yang mendukung dan memperkuat nilai yang
diajarkan dalam kelas
3. Mengajak
orang tua dan masyarakat menjadi mitra dalam pendidikan nilai, mendorong orang
tua menjadi guru moral pertama, menganjurkan orang tua untuk mendukung
upaya-upaya sekolah dalam mengembangkan nilai yang baik dan mencari bantuan masyarakat
dalam memperkuat nilai yang diajarkan di sekolah.
Tidak
dapat dihindari bahwa sekolah telah mengajarkan nilai yang baik dan yang buruk
dalam bentuk apapun. Interaksi antara guru-siswa, siswa dengan kurikulum, memiliki
efek yang potensial bagi nilai dan karakter anak sehingga menjadi baik atau
rusak. Pertanyaan yang muncul dalam hal ini bukan apa yang dilakukan dalam
pendidikan nilai tetapi bagaimana hal ini dikerjakan dengan baik. Dengan
pemahaman tersebut, bagaimana cara kita untuk membuat seluruh bagian dari
kehidupan sekolah bekerja sama untuk menumbuhkan moral pada anak-anak kita.
Penutup
Pendidikan karakter adalah salah satu
cara penting yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kondisi masyarakat yang mulai
kehilangan nilai-nilai positif dalam kehidupannya. Meskipun diterima dengan
perasaan pilu bahwa realitas masyarakat kita makin kehilangan arah, kehilangan
etika dan landasan moral yang kuat kita masih menyimpan harapan dan cukup
memiliki energi untuk melakukan perbaikan yang mungkin dilakukan. Pendidikan
karakter menjadi sesuatu yang urgen dilakukan. Sebagai akademisi, pendidik dan
orang tua kita tidak hanya perlu peduli dan mengetahui keburukan yang terjadi
tetapi juga seyogyanya memiliki langkah nyata untuk memformulasikan cara-cara
mendidik yang dapat membangun karakter, Seraya tetap berharap bahwa ada
dukungan policy yang pemerintah yang
dapat memaksa semua pihak terlibat. sehingga sebagai bangsa, kita tidak hanya
dihargai karena jumlah penduduk yang banyak dan kekayaan alam yang melimpah,
lebih dari itu kita dihargai karena memiliki karakter unik dan jatidiri sebagai
bangsa.
Sumber Pustaka
Bronfenbrenner,
U. 1995.. Developmental ecology through space and time: A future perspective.
In P. Moen, G. Elder, Jr., & K. Luscher (Eds.), Examining lives in
context: Perspectives on the ecology of human development (pp. 619–648).
Washington, DC: American PsychologicalAssociation.
Foster,
E.M &Kalil, A.2005. Developmental
Psychology and Public Policy: Progress and Prospects. Developmental Psychology
41( 6) 827–832 . American
PsychologicalAssociation.
Darmaningtyas. 2005. Pendidikan
Rusak-rusakan, Yogyakarta : LKiS
Echols J.& Shadily, 1976. Kamus
Bahasa Inggris-Indonesia. Jakarta : Gramedia
H.A.R. Tilaar. 1999. Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani
Indonesia. Bandung : Remaja Rosda Karya
H.A.R. Tilaar. 2002. Membenahi
Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta
Koentjaraningrat. 1983. Kebudayaan dan
Mentalitas Pembangunan, Jakarta : Gramedia
Lickona, T. 1991. Educating For
Character : How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility. United
States : Bantam Books.
Mochtar
Lubis. 1977. Manusia Indonesia : Jakarta sinar harapan
Postman, N. 1995. Matinya pendidikan,
Redefinisi nilai-nilai sekolah (terjemahan). Yogyakarta ; Jendela
Schultz D. 1991. Psikologi
Pertumbuhan, Model-model kepribadian sehat. Jakarta: Kanisius
Schultz
D.P. & Schultz S.E. 2005. Theories of personality, 8 th
edition. Belmont : Thomson Wadsworth
Semiawan. C. 2010. Kajian Ilmu
Pendidikan Ditinjau dari Perspektif Psikologi Pendidikan. Makalah program
kegiatan Alih Kepakaran FIP UNJ
Semiawan. C. 2010. Character Building
for Children : Toward A National Identity of Quality and Dignity. Makalah
program kegiatan Alih Kepakaran FIP UNJ
Y.B. Mangunwijaya. 2003. Impian dari
Yogyakarta, Kumpulan esaai masalah pendidikan.
Jakarta : penerbit buku Kompas
www.
http://agorsiloku.wordpress.com/2007/03/17/
posted Maret 17, 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar