Rabu, 09 April 2014

Tugas Proyek PAI Kelas 7C (10 April 2014)



Kelompok 1
Anggota :
Kenanga Dwi Puspa
Luvita
Alija
Rima Zafira

1.       Doa ketika bangun tidur
2.       Wudlu/ thaharah setelah bangun tidur

Kel 2
Anggota :
Zulfa
Hanifa Alya
Sifa
Nafisa

1.       Tahajud
2.       Shalat subuh berjama’ah

Kel 3
RIzqun Karim
Fauzan
Amar
Rival

1.       Tidak Tidur setelah subuh
2.       Belajar diwaktu pagi

Kel 4
Vicky Irwansyah
Ariksa
Fajri R
Zaki P

1.       Mandi di pagi hari
2.       Berpakaian rapi bersih dan sopan.

Catatan :
1.       Diedit dengan baik, dan data sebanyak dan selengkap mungkin.
2.       Dikirim ke E-Mail : yanmarywina@gmail.com / yanmariyanto@yahoo.com (dilampirkan /attachment) paling akhir jam 12.00 (10 April 2014)

Minggu, 09 Februari 2014

TUGAS TIK KELAS 7C



Tugas TIK Kelas  7 C
Senin, 10 Februari 2014

  1. Edit Scrip HTML yang sudah diberikan untuk Link
  2. Pastikan HTML yang diedit sudah benar-benar lengkap dan benar
  3. Buka Blog masing masing dan masuk.
  4. Lihat di Dasbor – Tata Letak – (Tambah Gadget)
  5. Pilih gadget HTML/Java Scrip
  6. Isi Judul dengan nama Khalifah Boarding School Link (atau boleh sesuai dengan keinginan masing masing.
  7. Di Kolom bawah yang kedua pada HTML/Java Script Copy-Paste Link HTML/Script yang telah di edit di atas.
  8. Pilih simpan dan lihatlah link pada blog anda.
  9. Semua blog harus sudah link satu sama lain.
  10. Apabila blognya tidak bisa di buka berarti ada salah penulisan alamat blog atau blog anda belum ada (silahkan buat blog baru)
  11. Tugas akan ustadz cek blog masing masing via internet setelah jam pelajaran berakhir.
  12. Bagi yang belum selesai, nilai akan di pending sampai blog berhasil ter-link dengan yang lain.
  13. Selamat mengerjakan. Syukran.

Minggu, 13 Januari 2013

Tugas PAI SMP khalifah Boarding School Kelas 7

1.       Sebutkan Silsilah Nabi Muhammad SAW Dari PIhak Ibu? 5 tahap silsilah.
2.       Sebutkan silsilah Nabi Muhammad SAW dari pihak Bapak? 5 tahap silsilah.
3.       Kapan Nabi Muhammad SAW dilahirkan? Dan kenapa tahun kelahirannya dinamakan tahun Gajah?
4.       Kapan Ibunda nabi Muhammad SAW Meninggal ? dan Siapa yang mengasuh beliau sepeninggal ibunya?
5.       Kapan kakeknya meninggal dan siapa yang mengasuh sepeninggal kakeknya?
6.       Kapan Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi Nabi dan kapan nebi Muhammad SAW diangkat menjadi Rasul?
7.       Kapan Rasulullah SAW menikah? Dengan siapakan dan pada usia berapa beliau menikah?
8.       Siapa yang pertama masuk islam dari Laki-laki, perempuan dan anak-anak?
9.       Berapa lamakah beliau berdakwah menyairkan agama islam?
10.   Berapa ayat, surat dan Juz kah total dalam Al-Qur’an?
11.   Kapan kah rasulullah meninggal?
12.   Adakah harta beliau yang diwariskan untuk anak-anaknya? Sebutkan ?
13.   Sebutkan Rukun-Rukun Shalat menurut beberapa ulama ? dan jelaskan perbedaannya?

Jawaban dikirim ke E-Mail yanmarywina@gmail.com setelah jam pelajaran berakhir.ok
wassalam


Sabtu, 22 September 2012

Pengumuman !

Bagi siswa-siswi Khalifah Boarding School yg sholeh & sholehah ,Minggu besok adalah hari dimana kita akan melaksanakan UTS perdana di perantren yg kita CINTA"II ini ......


          SEMUANYA,Jadilah yg terbaik!!!!







                             --------------------^_* GOOD LUCK OK *_^---------------------

Kamis, 13 September 2012

TUGAS TIK 14 september 2012

1. Verifikasi Alamat Blog Masing-Masing, pastikan alamat blog anda benar dan password nya ingat.
2. Hari ini harus meng-update minimal 1 entri.
3. Pelajari cara mengirim E-MAIL, jangan sampai ada yang belum tahu cara mengirim E-MAIL
4. Cek alamat Blog Anda di khalifahboardingschoolstudent.blogspot.com dengan cara mengklik nama masing-masing, jika tidak masuk ke blog yang anda miliki berarti alamat blog anda salah.
5. bagi yang alamat blognya salah atau diganti, kirimkan alamat blog anda via E-MAIL ke yanmarywina@gmail.com
6. syukran Wasalam.

Kamis, 07 Juni 2012

FORMAT PENDIDIKAN KARAKTER MELEPASKAN JEBAKAN FORMALISME PENDIDIKAN, MENUJU KE ARAH PENDIDIKAN YANG LEBIH SUBSTANTIF


FORMAT PENDIDIKAN KARAKTER
MELEPASKAN JEBAKAN FORMALISME PENDIDIKAN, MENUJU KE ARAH
PENDIDIKAN YANG LEBIH SUBSTANTIF[1]

Oleh : Dede Rahmat Hidayat[2]

Pendahuluan
Menulis pembahasan ini merupakan sesuatu yang “mengganggu, tetapi telah memberikan rangsangan kepada minat intelektual saya untuk melihat ulang, mengkritisi praktek pendidikan yang berlangsung untuk kemudian berupaya memberikan suatu alternative yang mungkin ditempuh.
Tidaklah mudah bagi saya untuk memahami secara persis ide yang muncul dari seorang professor yang sangat saya hormati, tidak hanya karena konsistensi beliau dalam jalur pengabdiannya terhadap pengetahuan tetapi karena berbagai pemikiran yang dikemukakan memberikan dorongan yang  “memaksa”  saya untuk terus berpikir dan merenung.
Pembangunan karakter adalah  tema yang menarik untuk dibahas, beberapa waktu sebelum kegiatan alih kepakaran dilakukan, saya terlibat dalam perenungan dan diskusi mengenai masalah moral yang mengungkungi masyarakat. Terdapat banyak keluhan, kekhawatiran dan juga cacian atas perilaku yang dianggap tidak menunjukkan karakter sejati bangsa Indonesia yang sangat normative, Pameran keburukan ini dilakukan oleh berbagai pihak, baik dari kalangan elit politis, selebritis hiburan maupun rakyat biasa.
Artikel yang ditulis oleh Prof Conny Semiawan yang berjudul” Character Building for Children : Toward A National Identity of Quality and Dignity” adalah sebuah tulisan yang patut untuk disimak. Dalam tulisan ini membuat beberapa point, yaitu :
a. Konsep karakter dan pendidikan karakter
b. Peran lingkungan dan aspek genetis
c. bangsa bermartabat dan peran orang tua
Dalam tulisan ini saya akan membahas dan memberikan tanggapan atas beberapa point di atas terutama yang berkaitan dengan konsep karakter dan pendidikan karakter tetapi dengan tinjauan yang lebih mikro dan pembahasan yang lebih operasional. Sementara bagian lain, dalam pandangan saya mungkin lebih menarik untuk dibahas bersama karena memiliki konstelasi yang lebih luas.

Jebakan formalisme pendidikan yang bersumber dari pragmatisme
Kegiatan bersekolah seringkali disamaartikan dengan pendidikan, kegiatan rutin pergi pagi pulang siang, murid duduk di bangku sambil mendengarkan guru menyampaikan pelajaran, pada akhir tahun mendapatkan laporan hasil pendidikan dan pada akhir pendidikan mendapatkan ijazah. Kegiatan ini diikuti oleh jutaan orang Indonesia melibatkan semua struktur dalam masyarakat, oleh rakyat dan juga pemerintah. Apabila bersekolah sama dengan pendidikan apakah kegiatan persekolahan yang dilakukan telah mencapai hasil yang diharapkan dalam pendidikan, yaitu mencapai manusia seutuhnya atau telah mencerdaskan kehidupan bangsa seperti yang tercantum dalam pembukaan UUD 45. Karena tujuan pendidikan secara substansial merujuk kepada upaya untuk membuat suatu perubahan yang lebih baik dan salah satu komponen penting perubahan tersebut adalah pembangunan karakter.  
            Kegiatan Pendidikan (mungkin istilah yang lebih tepat adalah persekolahan) menjadi sebuah kewajiban yang diarahkan menjadi cara untuk mendapatkan pekerjaan yang “bergengsi” pendidikan bukan merupakan cara untuk memartabatkan dan memuliakan manusia, indikator keberhasilan pendidikan adalah pekerjaan yang bagus, jabatan yang tinggi dan kekayaan material. Bukan diarahkan agar anak didik memiliki kehormatan , cita-cita, respek terhadap kehidupan; terhadap sesama manusia dan terhadap lingkungan. Tilaar (1999a) mensinyalir bahwa Indonesia tidak saja mengalami krisis secara ekonomi, tetapi juga mengalami krisis pendidikan. Dia menyoroti  bagaimana pendidikan dijalankan pada jaman orde baru, bahwa pendidikan telah dipisahkan dari budaya.
Praksis pendidikan yang berjalan digambarkan oleh Postman (1995) sebagai sebuah kegiatan yang konservatif dan subversive, karena sekolah sebagai tempat pendidikan telah menjadi tembok pembatas dari upaya untuk memberikan ruang yang lapang  untuk pergerakan pemikiran, dan bahkan mungkin telah menghianati upaya untuk melanggengkan demokratisasi. Pendidikan lebih banyak mengajarkan ketidakberdayaan, bukan kemandirian.   
Pendidikan yang salah arah telah menimbulkan berbagai implikasi yang negative, dari manusia yang terdidik tinggi ide-ide mengenai kehancuran diciptakan. Pembuatan Senjata pemusnah massal, pengurasakan alam secara massif. Pendidikan telah menjadikan manusia kehilangan kemampuan untuk mengembangkan minat terhadap kehidupan (Erich Fromm menyebutnya dengan biofilus) karena yang muncul adalah nafsu necrofilik yang menghancurkan. Pendidikan yang dijalankan telah melahirkan manusia-manusia dengan mental korup dan merusak. Kita ketahui bahwa para pelaku korupsi adalah mereka yang terdidik tinggi. Bukankah suatu hal yang paradoks apabila pendidikan berbanding terbalik dengan kebaikan.
            Pendidikan bergeser menjadi sangat kapitalistik akan melahirkan berbagai bentuk manipulasi, karena yang diharapkan adalah gelar bukan perubahan atau proses menuju aktualisasi (Conny Semiawan (2010a). Pendidikan menjadi sangat intelektualistik, aspek-aspek kepribadian yang meliputi aspek konatif, afektif dan kognitif telah diabaikan, Pendidikan telah dimanipulasi untuk tujuan-tujuan intelektualisme yang sempit dan mematikan inisiatif dan kemandirian berpikir manusia (TIlaar, 1999). Demi mengejar gelar banyak orang yang memalsukan ijazah dan berbangga diri dengan gelar akademik (lihat Darmaningtyas, 2005). Inilah jebakan pendidikan yang harus dihindari
Pendidikan yang dijalankan pada dasarnya memiliki dua dimesi, yaitu teknis dan metafisis (lihat Tilaar 1999 dan Postman, 1995). Praktek pendidikan di Indonesia sangat disibukan dengan dimensi yang bersifat teknis, sibuk dengan kurikulum, fasiltas, proses birokrasi, belajar menjadi sangat mekanistis. tetapi mengabaikan fungsi pendidikan sendiri. Dalam UU Siskdiknas No 20 tahun 2003 dinyatakan bahwa “Pendidikan berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa bertujuan untuk berkembangnya peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak, sehat, berilmu, cakap kreatif, mandiri dan menjadi warga yang demokratis serta bertanggung jawab”. Secara normative itulah fungsi pendidikan yang diharapkan. 
Realitas yang tidak sesuai harapan ini menunjukan adanya gejala bahwa pendidikan jalan di tempat. Setelah 65 tahun merdeka pendidikan semakin memperburuk mentalitas manusia Indonesia. Secara romantis Mangunwijaya (2003) menceritakan bahwa pendidikan di jaman penjajahan Belanda telah melahirkan banyak pejuang tangguh, melahirkan manusia-manusia yang mandiri dan memiliki cita-cita. Sementara ketika pendidikan dijalankan oleh bangsa sendiri memberikan hasil yang sebaliknya, hanya sedikit yang memiliki mentalitas maju. Bercermin pada kondisi ini kita mungkin dapat memahami mengapa pembangunan Indonesia sepertinya berjalan lamban. Merujuk kepada penjelasan Koentjaraningrat (1983) mengenai hambatan yang muncul dalam pelaksanaan pembangunan adalah terletak pada mentalitas, dikatakan  bahwa sikap mental orang Indonesia umumnya belum siap untuk pembangunan. Kondisi ini yang dianggap masih bercokol pada kebanyakan masyarakat Indonesia seperti yang diresahkan juga oleh Semiawan (2010b) bahwa perubahan mentalitas belum terwujud, karena korupsi dan penyalahgunaan wewenang tetap berjalan, bahkan telah kehilangan jatidiri sebagai bangsa. Penggambaran Mochtar Lubis tahun 1977 mengenai manusia Indonesia tampaknya masih tetap relevan, meskipun banyak orang mengingkarinya. Mochtar Lubis menggambar manusia Indonesia secara umum memiliki sifat negative yaitu  hipokrisi atau munafik. segan dan enggan bertanggung jawab atas perbuatannya. berjiwa feodal. percaya takhayul. tidak hemat dan boros. Dia tidak suka bekerja keras, kecuali terpaksa. Meskipun beliau berusaha untuk tetap objektif dalam menilai setidaknya dengan menunjukkan sifat-sifat yang baik berupa ikatan saling tolong, berhati lembut, suka damai, punya rasa humor, serta dapat tertawa dalam penderitaan. Manusia Indonesia juga cepat belajar dan punya otak encer serta mudah dilatih keterampilan. Selain itu, punya ikatan kekeluargaan yang mesra serta penyabar. penggambaran di atas tidak bermaksud menampilkan keburukan bangsa sendiri, tetapi bagi kalangan pendidik dan akademisi merupakan sesuatu yang menggugah dan pantas untuk diperbaiki karena menjadi PR bagi kita (Semiawan, 2010b). 

Menuju pendidikan yang membangun karakter 
Langkah yang mungkin dapat diperbaiki adalah bagaimana membangun karakter. Semiawan (2010b) setidaknya memberikan dua kontributor penting yaitu pengasuhan di rumah dan pendidikan di sekolah. Dalam pembahasan ini akan lebih difokuskan kepada pendidikan karakter di sekolah.
Pendidikan meskipun bukan panacea bagi masalah-masalah kebangsaan, tetapi merupakan kontributor penting bagi kemajuan dan upaya menuju ke arah perbaikan. Pendidikan yang baik akan mendorong kepada perubahan progresif menyebabkan setiap orang mencapai aktualisasi (dalam bahasa Maslow) atau individuasi dalam Bahasa Jung atau creative minority versi Arnold Toynbee (lihat Schultz, 1991). Pendidikan harus diarahkan kepada upaya untuk membangun karakter, yaitu terjadi proses tranformasi diri menuju ke arah yang lebih tinggi
Pendidikan dapat membantu manusia menjadi bagian dari masyarakat yang sehat,  Dalam istilah Erich Fromm masyarakat yang sehat adalah masyarakat produktif,  karena memiliki karakter yang kreatif dan selalu berusaha untuk menggunakan apapun untuk kemajuan, mereka termasuk Tipe biofilus (orang yang mencintai kehidupan). Fromm juga mengemukakan tentang masyarakat yang seharusnya yaitu masyarakat manusia yang berhubungan satu sama lain dengan penuh cinta, dan berakar dalam ikatan-ikatan persaudaraan dan solidaritas, suatu masyarakat yang memberi kemungkinan untuk mengatasi kodratnya dengan mencipta bukan dengan membinasakan, dimana setiap orang mencapai pengertian tentang diri dengan mengalami dirinya sebagai subjek dari kemampuan-kemampuannya bukan dengan konformitas. Terdapat suatu sistem orientasi dan devosi tanpa orang perlu mengubah kenyataan. Dalam masyarakat semacam itu, setiap orang akan memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi manusiawi sepenuhnya.

Konsep karakter
Istilah karakter dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sama dengan “watak” yang diartikan sebagai sifat batin manusia yang mempengaruhi segenap pikiran dan tingkah laku, budi pekerti dan tabiat (Soedarsono, 2008). Sama halnya dengan kamus Inggris-Indonesia (Echols dan Shadily, 1976) yang menyamakan Character dengan watak, karakter, sifat (kata benda).
Semiawan (2010b) mendefinisikan karakter dengan “keutuhan seluruh perilaku psikis hasil pengaruh factor endogin (genetic) dan factor eksogin, yang membedakan individu atau kelompok individu yang satu dari yang lainnya”. Novak (dalam Lickona, 1991) menyebutkan bahwa karakter merupakan percampuran dari semua kebaikan yang dipengaruhi oleh tradisi keagamaan, kebudayaan, nasehat-nasehat dan perilaku tokoh yang terdapat dalam pelajaran-pelajaran sejarah.
Lickona (1991) menjelaskan bahwa karakter  terdiri dari Operative Values, yaitu nilai-nilai dalam perilaku. Seorang individu pada hakikatnya akan mengalami proses pengaplikasian nilai-nilai yang ada untuk direalisasikan dalam bentuk perilaku yang baik, menggunakan watak pribadi untuk merespon situasi-situasi dengan moral yang baik. Dengan demikian menurut Lickona karakter seseorang dapat dikatakan baik, apabila orang tersebut telah melalui beberapa proses, yaitu mengetahui hal yang baik, menginginkan hal baik, selanjutnya melakukan hal yang baik, meskipun mendapat tekanan dari luar  maupun godaan dari dalam. Lebih dari itu, kebiasaan seseorang dalam berpikir, menggunakan hati serta kebiasaan bertindak sangat dibutuhkan dalam mamandu kehidupan moralnya. Seseorang dikatakan memiliki karakter kuat apabila bisa menilai apa yang right, peduli pada apa yang dianggap right dan melakukan apa yang sudah dianggap right  tersebut.
Komponen-Komponen Pembentuk Karakter
Tulisan ini akan coba menjelaskan ide Lickona (1991) mengenai karakter, karena menurut penulis dianggap memiliki pembahasan yang luas. Lickona (1991) menjelaskan komponen karakter ke dalam tiga bagian, yaitu moral knowing, moral feeling dan moral action.

1.            Pengetahuan Moral (Moral-Knowing)
Pengetahuan moral (moral-knowing) merupakan aspek pembentuk karakter seseorang. Pengetahuan moral terdiri atas kesadaran moral (moral awareness), mengetahui nilai-nilai moral (knowing moral values), Nilai-nilai moral yang dimaksud adalah respect terhadap kehidupan sekitarnya, bertanggung jawab, jujur, adil, toleran, disiplin diri dan memiliki integritas. Selain itu pengetahuan moral juga terkait dengan memahami perspektif orang lain, memiliki pertimbangan moral (moral-reasoning), disini termasuk dalam pemahaman tentang prinsip-prinsip dasar dari moral seperti “respect terhadap nilai-nilai yang dimiliki setiap orang”. Selain itu juga termasuk di dalamnya pengambilan keputusan (decision-making) dan pemahaman diri (self-knowledge).

2.    Perasaan moral
Hati nurani, harga diri, empati, mencintai hal-hal baik, kontrol diri dan kerendahan hati merupakan aspek emosional dari moral seseorang. Semua aspek tersebut dapat memotivasi seseorang untuk bermoral baik, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain. Menyukai hal-hal yang baik (loving the good) salah satu tingkatan tertinggi pada karakter adalah ketertarikan pada hal-hal yang baik. Ketika seseorang mencintai hal-hal yang baik, tentu ia akan dengan senang hati melakukan hal-hal tersebut. Ia memiliki keinginan untuk bermoral baik, dan tidak menjadikan moral sebagai beban, dan komponen lainnya adalah kerendahan hati (humility)
Setiap orang yang mementingkan sikap kejujuran, adil dan sopan terhadap orang lain, akan sangat dipengaruhi oleh pengetahuan moral (moral-knowledge), moralnya yang akan mengarahkan pada perilaku yang bermoral. Moral-feeeling dapat dikategorikan ke dalam aspek emosi dari karakter dan dapat berkembang karena dipengaruhi lingkungan sekolah dan keluarga. Perasaan moral juga terdiri dari hati nurani (conscience) yaitu bagian kognitif (mengetahui apa yang right) dan emosional (merasa memiliki kewajiban untuk melakukan right) dan perasaan bersalah (guilty). Ketika hati nurani menginginkan untuk melakukan sesuatu, maka orang akan merasa bersalah jika tidak melakukannya. Bagi seseorang yang mengikuti kata hatinya, moral adalah segalanya. Ia berkomitmen untuk selalu menampilkan nilai-nilai moralnya karena nilai-nilai tersebut sangat mengakar kuat dalam dirinya. Seseorang yang mengikuti apa kata hatinya akan merasa “out of character” jika ia melakukan hal-hal yang negatif seperti berbohong dan mencontek.

3.  Tindakan Moral (Moral Action)
            Tindakan moral terdiri atas Kompetensi, keinginan (will) dan kebiasaan (habit). Kompetensi adalah keterampilan seseorang dalam melakukan sesuatu, yang ditunjukkan dengan secara konsisten serta memberikan kontribusi kinerja yang tinggi dalam suatu tugas. Keinginan merupakan motor penggerak/energi tersendiri bagi seseorang untuk melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan. will merupakan inti dari moral action habit memberikan banyak pengaruh terhadap moral seseorang. Seseorang yang memiliki karakter kuat, seperti jujur, loyal, berani, ramah dan dapat berlaku adil meski dalam tekanan. Ia melakukan nilai-nilai tersebut berdasarkan habit yang sudah melekat dalam dirinya. Seseorang sering tidak berpikir secara sadar tentang right choice, ia melakukan right thing berdasarkan habit—nya.
            Idealnya pengetahuan mengenai nilai-nilai moral akan berarti memahami cara mengaplikasikanna dalam bentuk sikap dan perilaku. Pada orang yang memiliki karakter kuat, moral knowing, moral feeling dan moral acting akan bekerja secara koheren dan saling mendukung satu sama lainnya.

 



















Komponen karakter yang baik
Sumber : Lickona T (1991) : Educationg for character : How our School Can Teach Respect and Responsibility

Dalam banyak kasus sering didapati bahwa pengetahuan right bukan jaminan bagi seseorang untuk melakukan hal yang right juga. Banyak orang yang sudah mengetahui apa yang seharusnya dilakukan namun tidak bisa mewujudkannya dalam kenyataan, atau seringkali seseorang mengetahui dengan persis mana perbuatan yang benar dan mana yang salah, tetapi tetap melakukan hal yang salah. Penyebab kondisi ini adalah ketiadaan integrasi dari ketiga komponen moral yang ada. Berpijak pada penjelasan Bronfenbrenner (1995) mengenai 4 kunci dimensi dalam perkembangan atau yang disebut dengan ecological approach yang berinteraksi secara reciprocal yaitu proses, orang, konteks dan waktu. Perkembangan individu berada dalam 4 dimensi tersebut, tetapi di luar dari ke empat dimensi tersebut terdapat suprastruktur yang sangat menentukan yaitu policy pemerintah (Foster & Kalil, 2005). Pendidikan karakter tidak hanya diterapkan dalam persekolahan melainkan juga harus didukung dengan policy yang “memaksa” semua pihak untuk terlibat. Bentuk policy yang dimaksud adalah regulasi yang dibuat memaksa semua pihak baik, baik grass root level maupun top level society untuk konsisten mengintegrasikan 3 komponen moral. Tanpa dukungan tersebut amatlah tidak mudah perubahan yang progressif dapat diwujudkan. 

Peran guru dan sekolah dalam pendidikan karakter
Dalam pendidikan terdapat dua tujuan besar yang diharapkan, yaitu membuat anak-anak menjadi cerdas (smart) dan kedua membuat anak-anak menjadi baik (good). Baik berarti memiliki penghargaan obyektif (objective worth), sebuah nilai yang memperkuat martabat manusia dan meningkatkan kebaikan bagi individu dan masyarakat. Terdapat dua bentuk nilai moral yang universal di masyarakat yang dapat diajarkan yaitu respek dan tanggung jawab. Respek berarti memperlihatkan rasa hormat baik kepada manusia maupun benda. Respek adalah sisi pengendalian dari moralitas yang menjaga kita untuk tidak menyakiti sesuatu yang harus kita hargai. Respek kepada diri sendiri, kepada hak-hak dan martabat seluruh manusia dan respek kepada lingkungan yang melestarikan kehidupan. Sementara tanggung jawab adalah sisi aktif dari moralitas, di dalamnya termasuk peduli kepada diri sendiri dan orang lain, memenuhi kewajiban dan berkontribusi kepada masyarakat, mengurangi penderitaan dan membangun dunia yang lebih baik.
Seperti yang disampaikan Semiawan (2010 b), Menurut Lickona (1991) sekolah dapat mengajarkan pengembangan karakter, apabila dapat menyediakan suatu lingkungan moral (moral environment) yang menekankan nilai-nilai yang baik dan menjaganya dalam kesadaran setiap orang. Untuk mengubah nilai menjadi sebuah kebaikan dan mengembangkan dari kesadaran intelektual  menjadi kebiasaan personal dalam pikiran, perasaan dan tindakan.  
            Pengetahuan, perasaan dan tindakan moral dalam berbagai bentuk manifestasinya adalah kualitas karakter yang membuat nilai moral dapat terealisasi. Untuk itu dalam pembelajaran di sekolah komponen yang dikembangkan adalah respek dan tanggung jawab.  Dengan mendidik respek dan tanggung jawab berarti membuat nilai-nilai yang ada dioperasionalkan dalam kehidupan sehari-hari, inilah makna dari mendidik karakter.
Dalam praktek pendidikan karakter di sekolah guru memiliki peran yang sangat penting. Menurut Lickona (1991) terdapat beberapa peran yang harus dilakukan oleh guru dalam pendidikan karakter, yaitu  
1.    Bertindak sebagai pemberi perhatian, model dan juga mentor, melayani siswa dengan penuh cinta dan respek, menjadi contoh yang baik, mendukung perilaku prososial, dan memperbaiki perilaku yang menyakiti atau merusak.
2.    Menciptakan komunitas pendukung moral dalam kelas, menolong siswa untuk saling mengenal satu sama lain, respek dan peduli kepada yang lain dan merasa dihargai sebagai anggota kelompok
3.    Menerapkan disiplin moral dengan cara membuat dan menguatkan aturan sebagai kesempatan untuk mendukung pertimbangan alasan moral, mengendalikan diri dan memberikan respek kepada setiap orang.
4.    Membangun lingkungan kelas yang demokratis, dengan cara melibatkan siswa dalam pengambilan keputusan, berbagi tanggung jawab dalam membuat kelas menjadi nyaman untuk dihuni dan sebagai tempat belajar
5.    Mengajarkan nilai-nilai melalu kurikulum, menggunakan subjek akademik sebagai kendaraan untuk menilai isu etik ( hal ini dilakukan secara simultan dengan strategi sekolah dimana kurikulum diarahkan kepada lintas kelas, seperti pendidikan allkohol, pendidikan tentang narkotik dan pendidikan seks).
6.    Menggunakan cara belajar kooperatif untuk mengajarkan watak (disposition),  keterampilan menolong orang lain dan bekerja sama
7.    Mengembangkan ketajaman nurani (conscience of craft) dengan mendorong siswa untuk memiliki tanggung jawab akademik dan peduli terhadap nilai dari belajar dan bekerja
8.    Mendukung refleksi moral melalui membaca, menulis, berdiskusi, latihan mengambil keputusan dan berdebat.
9.    Mengajarkan resolusi konflik sehingga siswa memiliki kapasitas dan komitmen untuk menyelesaikan konflik secara adil dan tanpa kekerasan.
Selain guru yang harus memiliki peranan, sekolah sebagai suprastruktur juga memiliki peranan penting yang harus dilakukan sekolah. Peran-peran tersebut adalah :
1.    Membantu mengembangkan kepedulian di luar kelas, menggunakan model peran yang menginspirasi dan memberikan kesempatan kepada sekolah dan komunitas pelayanan untuk menolong siswa belajar memberikan perhatian
2.    Menciptakan budaya moral yang positif dalam sekolah dengan mengembangkan semua komponen persekolahan (melalui kepemimpinan kepala sekolah, disiplin sekolah, rasa kemasyarakatan sekolah,pengelolaan siswa yang demokratik, komunitas moral pada orang dewasa dan waktu untuk memperhatikan moral) yang mendukung dan memperkuat nilai yang diajarkan dalam kelas
3.    Mengajak orang tua dan masyarakat menjadi mitra dalam pendidikan nilai, mendorong orang tua menjadi guru moral pertama, menganjurkan orang tua untuk mendukung upaya-upaya sekolah dalam mengembangkan nilai yang baik dan mencari bantuan masyarakat dalam memperkuat nilai yang diajarkan di sekolah.
Tidak dapat dihindari bahwa sekolah telah mengajarkan nilai yang baik dan yang buruk dalam bentuk apapun. Interaksi antara guru-siswa, siswa dengan kurikulum, memiliki efek yang potensial bagi nilai dan karakter anak sehingga menjadi baik atau rusak. Pertanyaan yang muncul dalam hal ini bukan apa yang dilakukan dalam pendidikan nilai tetapi bagaimana hal ini dikerjakan dengan baik. Dengan pemahaman tersebut, bagaimana cara kita untuk membuat seluruh bagian dari kehidupan sekolah bekerja sama untuk menumbuhkan moral pada anak-anak kita.  

Penutup
Pendidikan karakter adalah salah satu cara penting yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kondisi masyarakat yang mulai kehilangan nilai-nilai positif dalam kehidupannya. Meskipun diterima dengan perasaan pilu bahwa realitas masyarakat kita makin kehilangan arah, kehilangan etika dan landasan moral yang kuat kita masih menyimpan harapan dan cukup memiliki energi untuk melakukan perbaikan yang mungkin dilakukan. Pendidikan karakter menjadi sesuatu yang urgen dilakukan. Sebagai akademisi, pendidik dan orang tua kita tidak hanya perlu peduli dan mengetahui keburukan yang terjadi tetapi juga seyogyanya memiliki langkah nyata untuk memformulasikan cara-cara mendidik yang dapat membangun karakter, Seraya tetap berharap bahwa ada dukungan policy yang pemerintah yang dapat memaksa semua pihak terlibat. sehingga sebagai bangsa, kita tidak hanya dihargai karena jumlah penduduk yang banyak dan kekayaan alam yang melimpah, lebih dari itu kita dihargai karena memiliki karakter unik dan jatidiri sebagai bangsa.  
 
Sumber Pustaka

Bronfenbrenner, U. 1995.. Developmental ecology through space and time: A future perspective. In P. Moen, G. Elder, Jr., & K. Luscher (Eds.), Examining lives in context: Perspectives on the ecology of human development (pp. 619–648). Washington, DC: American PsychologicalAssociation.

Foster, E.M &Kalil, A.2005.  Developmental Psychology and Public Policy: Progress and Prospects. Developmental Psychology 41( 6)  827–832 . American PsychologicalAssociation.

Darmaningtyas. 2005. Pendidikan Rusak-rusakan, Yogyakarta : LKiS

Echols J.& Shadily, 1976. Kamus Bahasa Inggris-Indonesia. Jakarta : Gramedia

H.A.R. Tilaar. 1999.  Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia. Bandung : Remaja Rosda Karya  

H.A.R. Tilaar. 2002. Membenahi Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta

Koentjaraningrat. 1983. Kebudayaan dan Mentalitas Pembangunan, Jakarta : Gramedia

Lickona, T. 1991. Educating For Character : How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility. United States : Bantam Books.
Mochtar Lubis. 1977. Manusia Indonesia : Jakarta sinar harapan 

Postman, N. 1995. Matinya pendidikan, Redefinisi nilai-nilai sekolah (terjemahan). Yogyakarta ; Jendela

Schultz D. 1991. Psikologi Pertumbuhan, Model-model kepribadian sehat. Jakarta: Kanisius

Schultz D.P. & Schultz S.E. 2005. Theories of personality, 8 th edition. Belmont : Thomson Wadsworth

Semiawan. C. 2010. Kajian Ilmu Pendidikan Ditinjau dari Perspektif Psikologi Pendidikan. Makalah program kegiatan Alih Kepakaran FIP UNJ

Semiawan. C. 2010. Character Building for Children : Toward A National Identity of Quality and Dignity. Makalah program kegiatan Alih Kepakaran FIP UNJ

Y.B. Mangunwijaya. 2003. Impian dari Yogyakarta, Kumpulan esaai masalah pendidikan.  Jakarta : penerbit buku Kompas



[1] Disampaikan pada alih kepakaran “Conny Semiawan’s Lecture on education” tanggal 2 Juni 2010
[2] Dosen Jurusan BK Fakultas Ilmu Pendidikan, dapat dihubungi pada alamat d_r_hidayat@yahoo.com